QUO VADIS PARIWISATA KSB?
Oleh: Wahyu Firmansyah*
Bagai berlian Nusa Tenggara, mungkin begitulah ungkapan yang tepat untuk mewakili indahnya wisata di KSB. Keindahannya tersimpan jauh di kedalaman bumi, perlu kerja keras untuk menikmati kemilau cahanya, supaya semua mata menjadi betah berlama-lama memandang setiap inchi garis-garis pantai, butir-butir putih pasir, gugusan bukit-bukit, dan exotic-nya budaya yang dihadirkan masyarakatnya. Pun nilai nominalnya tidaklah murah dibandingkan segala jenis perhiasan. Begitu indah.
Ada baiknya saya berhenti bernostalgia. Berlian yang dihayalkan ternyata masih dalam impian. Saya tidak tahu, apakah proyek pariwisata memang dianggap tidak menjanjikan? Ataukah para Masterplaner pariwisata hanyalah seorang planner saja, without real action sehingga pariwisata di KSB begitu-begitu saja tanpa perubahan? Ada baiknya berhenti menuduh, yang jelas pariwisata merupakan sektor yang sangat menguntungkan bagi banyak orang jika dikelola dengan baik dan benar. Di tahun 2005 saja (di Indonesia) diperkirakan terjadi 206,8 juta perjalanan (trips) dengan pelaku sebanyak 109,9 juta orang dan menghasilkan pengeluaran sebesar Rp 86,6 Triliun (DR. Sapta Nirwandar).
Kemudian bagaimana dengan trips atau perjalanan wisata di KSB? Mungkin perjalanan singkat saya mengunjungi beberapa tempat wisata di KSB dan Kabupaten Sumbawa sedikit menjadi jawaban atas pertanyaan ini.
H+1, seperti umat Muslim lainnya, ada dua kebiasaan Muslim Indonesia ketika Ramadhan usai: wisata pantai dan ‘wisata’ kubur. Sebagai umat Muhammad yang ingin melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhannya, saya pun tergiur, atau mungkin lebih tepatnya dipaksa (daripada jaga rumah sendiri), oleh promosi wisata pantai ke Labu Pade, kabupaten Sumbawa. Perjalanan boleh dikatakan tidaklah dekat. Saya yang berasal dari Seteluk KSB membutuhkan waktu setidaknya satu jam untuk ke tempat ini. Sejauhnya perjalanan membosankan, ribuan pengunjung membeludak, suhu matahari menyengat, ditambah lagi jumlah kendaraan dan ketiadaan petugas lantas membuat kemacetan panjang. Namun asa yang begitu tinggi menikmati keindahan berwisata mengabaikan semuanya. Terus terang, saya membayangkan Labu Pade adalah sebuah pantai dengan view indah, landscape putih, biru dan hijau, juga butiran pasir yang putih. Namun apa yang terjadi? Tanpa maksud mendeskreditkan tempat ini, seorang teman memberi nilai 0,5 dalam skala 10 untuk pantai ini jika dibandingkan dengan pantai di KSB. Lalu kenapa pengunjung pantai ini begitu membeludak? Fasilitas, ya, fasilitaslah yang membuat orang tertarik untuk ke sana.
Lalu bagaimana dengan KSB? H+2, saya berkunjung ke pantai Jelenga, dengan maksud hati menikmati pantainya, namun longsor dan rusaknya jalan memupus keinginan itu. Perjalan pun beralih ke Pantai Maluk. Saya memikirkan pantai ini akan ramai dan sesak. Sesampai di ‘kota’ Maluk, hampir tidak ada kendaraan, rumah-rumah tutup, sebuah tipikal kota tambang yang hanya ada dan ramai ketika tambang ada, jika tidak dikelola dengan baik maka sebutan kota hantu tak akan terelakkan nantinya. Sampai di pantainya, pengunjung hanya beberapa ‘ekor’, persis wisata kubur, pemandangan ini memang diimpikan oleh turis asing namun bencana bagi pelaku pariwisata dikarenakan sepinya pengunjung.
Baiklah, pembaca yang budiman, agar saya tidak dikatakan mengkritik tanpa memberi solusi, saya akan coba memberi solusi. Paradigma tentang kepariwisataan sudah seharusnya diperbaiki. Berharap sepenuhnya untuk menggaet turis-turis asing untuk berkunjung ke KSB tidaklah salah, namun yang juga perlu diperhitungkan adalah kehadiran pengunjung lokal. Ini adalah sumber pendapatan terbesar dikarenakan kuantitas dan intensitasnya yang lebih besar dibandingkan dengan kedatangan turis mancanegara. Multiplayer effect-nya juga bisa langsung dinikmati oleh penduduk asli KSB, dan bukan oleh pemilik modal besar yang memiliki hotel dan bungalau saja. Oleh karena itu promosi mesti gencar dilaksanankan, bukan hanya di Bali, tapi juga di Lombok, dan tempat-tempat tujuan wisata lainnya. Tidak usahlah jauh-jauh berpikir, pasanglah papan bilboard besar-besar di Kota Mataram, atau simpangan Poto Tano yang bertulisakan “Visit Kabupaten Sumbawa Barat”, itulah contoh kecil dan nyata, walaupun mungkin tidak menarik bagi pejabat karena bukanlah proyek besar yang mengeluarkan dana yang banyak untuk dianggarkan (Nyindir)
Keberadaan fasilitas dan infrastruktur pariwisata juga harus dikelola dengan kejujuran. Proyek Lebo Taliwang adalah bukti jeleknya pengelolaan. Entah sampai kapan wujud asli dari papan rencana yang dipampang di pinggir danau ini terwujud. Jangan sampai saling menyalahkan. Ada kecendrungan pihak eksekutif membuang kebobrokannya kepada bawahannya, mereka mungkin lupa bahwa eksekutif adalah sebuah sistem, dan sebagaimana halnya sebuah sistem, pasti akan saling terkait. Sangat naif jika seorang pencuri menyalahkan tangannya jika mencuri.
Sebagai perusahaan yang beroperasi di KSB, PT.NNT juga mesti jeli dalam membuat dan menjala nkan program-program pengembangan pariwisata di KSB sebagai wujud corporate social responsibility (CSR)-nya. Tanpa maksud menghadirkan chauvinisme, orang-orang lokal semestinya dilibatkan aktif, miris rasanya ketika melihat pengelola pantai Maluk banyak yang berbahasa sasak. Dengan melibatkan orang-orang lokal hal ini akan berdampak secara ekonomi karena hal ini membuat peredaran uang akan aktif di Sumbawa Barat.
Lombok dan Sumbawa sekarang tengah dicanangkan sebagai tempat tujuan wisata oleh Presiden SBY. Sudah siapkah KSB mengambil keuntungan sebesar-besarnya? Apakah pariwisata di KSB akan begini-begini saja, tetap pada status quo? Quo vadis pariwisata KSB?
*Seorang blogger dan editor buletin Guntermuli. Tulisan-tulisannya dapat diakses di www.wahyufirmansyah.co.cc.
Diterbitkan di Sumbawabarat Post edisi cetak 02 Oktober 2009
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar !!