ADA YANG BERANI MELAWAN INCUMBENT ?!
Judul di atas sengaja saya akhiri dengan dua tanda baca. Tanda tanya (?), questioning sign, memberi arti bahwa melawan incumbent bukanlah sesuatu yang mudah untuk konteks Indonesia sekarang. Sementara tanda seru (!), imperative sign, menyiratkan sebuah ajakan untuk mencalonkan diri jika ada yang memang berani untuk itu.
Sampai saat ini baru dua pasangan calon yang secara tidak resmi (un-officially) telah mendeklarasikan dirinya sebagai calon kepala daerah di KSB. Satu di antaranya adalah incumbent, sementara sisanya adalah bekas lawan incumbent pada periode pemilihan umum lalu. Tidak perlu disebutkan namanya di sini. Toh pembaca sudah mengetahui siapa mereka, mungkin lengkap dengan gelar akademis serta gelar keagamaannya (bagi yang memiliki). Krasak-krusuk politiknya pun mulai tercium baunya mulai dari tingkatan masyarakat biasa sampai kepada tingkatan masyarakat akademis. Dari tingkatan majelis-syuro-anok-tabongan, sampai kepada ranah internet baik blog maupun facebook.
Majelis syuro anok tabongan tentu tak kalah hangatnya. Mereka membanggakan jagoannya dengan kepopuleran citra dan beberapa program-programnya. Majelis anok tabongan biasanya tidak mau urus tentang hal-hal berbau teori dan praktis. Mereka hanya melihat dan merasakan, tanpa mau peduli kenapa dan bagaimana. Setidaknya saya bergabung dengan kedua pasangan tersebut di ranah facebook. Pasangan yang satu membanggakan kehebatannya dengan menulis program-program yang telah dilakukan dengan pencantuman diksi yang menurut saya terlalu berlebih-lebihan, sementara pasangan yang lain terkesan ragu mengambil sikap.
Baru sedikitnya calon kepala daerah yang akan maju di pilkada KSB cukup masuk akal bagi saya. Setidaknya sistem dan watak ‘rakyat’ di negara kitalah yang membuat hal ini terjadi. Seandainya saja hak untuk menjabat sebagai kepala daerah itu dibatasi hanya satu kali jabatan dan biaya politik itu murah, maka hal ini mungkin tidak akan terjadi. Peluang terpilihnya kembali incumbent pada putaran kedua sangatlah besar. Hal ini disebabkan kemudahan yang dimiliki oleh incumbent untuk menggunakan fasilitas/instrumen daerah untuk membuat program populis agar meraih pencitraan yang baik di mata calon pemilih.
Indonesia Corruption Watch (ICW) telah memperkiraakan bahwa potensi korupsi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2010 terutama dalam bentuk penyalahgunaan anggaran negara, fasilitas jabatan, manipulasi dana kampanye, dan politik uang bakal marak terjadi. Potensi itu makin tinggi di daerah yang salah satu calonnya adalah pihak yang tengah berkuasa atau incumbent (Kompas, 8 Januari 2010). Tentu hal ini tidak kita inginkan terjadi di KSB, karena jika hal ini terjadi, selain mempermalukan kita sebagai masyarakat KSB, hal ini akan dinilai merupakan representasi watak masyarakat kita secara tidak langsung
Sebagaimana kita ketahui, menjelang masa-masa pilkada adalah moment yang tepat untuk meraih simpatisan itu. Segala sedekah dan program bernama pemberdayaan akan bermunculan dari calon-calon kepala daerah. Silaturrahmi antara calon kepala daerah dengan pemuka-pemuka agama, tokoh adat, dan forum-forum masyarakat akan ramai terjadi. Dan lagi-lagi yang diuntungkan adalah incumbent. Incumbent akan dengan mudah menganggarkan dana dalam APBD untuk program-program (atas nama) bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Incumbent akan lebih mudah menggunakan fasilitas pemerintahan untuk mengundang tokoh-tokoh agama dan segala macamnya ke istana/pendopo dengan dalih silaturrahmi dan dengar pendapat.
Baru-baru ini saya membaca bahwa pemerintah daerah KSB akan mengeluarkan dana 13 milyar untuk pemberdayaan UMKM. Salahkah hal ini? Tentu tidak! Program pemberdayaan itu sangat perlu karena memang itulah fungsi dibentuknya desentralisasi. APBD sudah semestinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk belanja pegawai dan ‘jalan-jalan’ pejabat daerah atau anggota dewan saja. Yang menjadi kekhwatiran adalah ketika program-program pemberdayaan itu dibonceng oleh kepentingan, yang kemudian hanya ada dan berjumlah besar ketika menjelang pilkada saja dengan manajemen asal-asalan. Program pemberdayaan juga bukanlah masalah memberi uang kemudian selesai. Perlu pengawasan yang independen agar dana-dana ini tidak menjadi alat transaksi kekuasaan tentang siapa dan bagaimana orang yang akan mendapatkan dana ini nantinya, atau bahasa kasarnya dana ini tidak menjadi money politic saja. Anda mengerti maksud saya bukan? Tentunya kasus Century jilid II tidak kita inginkan terjadi.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar !!