PILKADA KSB DAN DIVESTASI PT NNT, DALAM JEJAK RAJA-RAJA SUMBAWA

Oleh: Wahyu Firmansyah*

APRIL 1853


Dea Jempe namanya, orang Belanda menyebutnya “Si Anak Nakal”, siang itu tampaknya adalah puncak sialnya. Di bawah terik matahari, sembari dipukul dengan kayu oleh algojo istana, dia dipertontonkan kepada khalayak ramai bahwa dialah pembangkang kerajaan Sumbawa yang harus dieksekusi mati. Jempe mengerang perih, dia memberontak, dia berteriak mencari keadilan, dia telah melobi, dia telah berdebat, namun nasib baik belum memihak kepadanya. Dengan tubuh berlumuran darah sambil diikatkan dengan tali, di sebuah lapangan eksekusi, dia menghembuskan nafas terakhir. Masyarakat Bima dan Sumbawa dalam genangan air mata.


Jempe adalah orang nomor satu di kerajaan Seran (Seteluk) waktu itu. Keengganannya untuk membayar pajak kepada kerajaan Sumbawa tampaknya awal dari petaka itu. Setelah meletusnya gunung Tambora 1815 yang menghabiskan separuh penduduk Sumbawa, pengaruh kerajaan Sumbawa terhadap wilayah-wilayah kekuasaannya, termasuk Kamutar Telu, de drie kamutar lenden, menjadi tidak kuat. Beberapa daerah seperti Seteluk, Taliwang, jereweh, dan beberapa wilayah lainnya dalam ancang-ancang untuk mendirikan kerajaan sendiri yang definitif terhadap kerajaan Sumbawa, sehingga kasus Jempe oleh kerajaan Sumbawa dianggap sebagai kasus luar biasa dan penentu masa depan kerajaan.


Jempe adalah diplomat unggul, namun di sisi lain juga sosok yang pongah. Dia mempunyai hubungan kerabat yang erat dengan kerajaan Bima. Hampir saja kerajaan Bima dan Sumbawa berperang karenanya, bahkan wilayah Berang Pelat mengancam jika saja Jempe dibunuh, maka Berang Pelat akan keluar dari kerajaan Sumbawa 1). Belum jelas kenapa Jempe menolak membayar pajak kepada Sumbawa. Namun dari perjanjian-perjanjian yang termaktub, seperti perjanjian Bongaya (Antara Goa dan VOC), dapatlah disimpulkan bahwa politik dagang Belanda terhadap kekuasaan-kekuasan raja di Sumbawa menjadi latar belakang hal ini.


Sebelum Goa ditaklukkan Belanda, Goa menguasai kerajaan-kerajaan di Sumbawa. Setelah penaklukan itu, kerajaan Sumbawa pun jatuh ke tangan Belanda dengan segala kewajiban membayar pajak dan hak monopoli perdagangannya. Sebenarnya Belanda tidak mau ikut campur dalam hal politik kerajaan. Mereka memberikan kekuasaan penuh kepada sultan untuk memimpin rakyatnya. Namun kehadiran Jempe nampaknya membuat Belanda mengeset ulang taktiknya. Jempe dan para petinggi kerajaan Seran dikenal sering membuat onar dan menantang. Belanda kemudian menyikapi hal ini dengan membuat taktik adu domba yaitu dengan memberikan keleluasaan lebih kepada orang Nomor Dua Seteluk 2) lebih dari Jempe untuk mengekspor barang-barang ke luar negeri. Puncak kemarahan Jempe adalah ketika dia tidak diangkat oleh hadat Sumbawa menjadi raja Seran. Sultan Sumbawa tertipu atas taktik ini, perang antara Jempe dan kesultanan Sumbawa pun terjadi, Jempe tertangkap dan dihukum mati, Belanda tepuk tangan.


APRIL 2010


Kejadian-kejadian di dunia ini sebenarnya hanyalah pengulangan. Tak terhitung gerak-gerik manusia di bidang politik juga adalah pengulangan. Di sinilah urgensi mempelajari sejarah. Kejadian-kejadian sekarang adalah anak kejadian yang bersintesa bahkan mungkin saja adalah siluet sejarah yang menyuguhkan dirinya dalam bentuk lain. Tradisi memilih, jika ditelusuri sejarahnya, sebenarnya telah tumbuh di kehidupan masyarakat kita sejak dulu. Pemilihan Nyaka (kepala kampung), misalnya, dipilih dari dan oleh penduduk setempat secara langsung 3), walaupun kekuasaan sultan, dan pembesar-pembesarnya masih merupakan kekuasaan atas dasar keturunan.


Moment Pilkada 2010 ini adalah sejarah yang terulang atas kondisi di sebuah daerah Kamutar Telu. Titik tekan tulisan ini bukan kepada Pemilihannya (Pil), tapi pada siapa calon Kepala Daerahnya (Kada) nanti. Tepat 157 tahun yang lalu 4), pada bulan April 1853, seorang Jempe memberi pesan kepada kita bahwa keadilan adalah segalanya. Walaupun Jempe adalah korban kejelian politik adu domba, namun kita rindu akan pemimpin yang tegas, yang menuntut keadilan, yang rela mati, dan tentu saja harus cerdas. Sebenarnya bukan hanya Jempe, banyak tokoh Kamutar Telu yang menggemparkan Belanda ketika itu, sebut saja Mirata, kemudian Undru, mereka adalah pejuang-pejuang de drie kamutar lenden yang tidak mau tunduk kepada ketidakadilan.


Pajak tidak lain adalah kalkulasi kekayaan yang sebagian darinya disetor kepada yang berwenang. Bagaimana jikalau hasil yang seharusnya kita dapatkan adalah lebih sedikit dari pemberian yang telah kita lakukan? Bukankah ini kebodohan dan ketidakadilan? Jika di zaman Jempe ada pajak dan di zaman Undru ada Uang Eran 5), maka di zaman kita ada Divestasi Saham. Jika boleh beranalogi, maka Kepala daerah KSB nantinya bisa kita ibaratkan sebagai Jempe, kesultanan Sumbawa adalah pemprop NTB, dan Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di KSB adalah perusahan ‘Belanda’, maka kita dapat memetik sejarah dari raja-raja kita.


Sebentar lagi KSB akan memiliki sekitar 3 % saham dari PT NNT. Apresiasi terhadap usaha ‘perebutannya’ perlu diacungkan jempol. Namun apakah itu sudah cukup? Belum! Pembagian saham divestasi 40-40-20 persen atas 25% dari 31% saham PT NNT antara pemda KSB, Pemprop NTB, dan Pemda Sumbawa menurut saya kuranglah adil. Betapa tidak, kita sebagai ‘pemilik’ Sumber Daya Alam dibagikan sama nominalnya dengan pemprop NTB. Ini bukanlah masalah serakah atau tidak serakah. Sebagai catatan, bahan tambang adalah resource yang akan habis dan memiliki efek negatif sesudahnya. Kepemilikan saham sebanyak-banyaknya adalah wajar karena kitalah yang banyak menanggung getahnya. Kita masih butuh pembangunan. Dalam bidang pendidikan misalnya, kita memerlukan kualitas guru yang baik, infrastruktur pendidikan yang lengkap. Dan itu membutuhkan uang. Belum lagi di bidang yang lain. Pertanian misalnya, atau pariwisata.


Tapi kemudian apakah kita akan ‘berkelahi’ dengan pemprop NTB dan menolak pembagian tersebut? Sekali-kali jangan! Lagi-lagi sejarah meregangkan tangannya. Kita mesti belajar dari Jempe yang gagal ‘berkelahi’ dengan kesultanan Sumbawa. Biarkan model pembagian tersebut berjalan lebih dulu sambil menunggu proses divestasi selesai karena dalam persyaratan divestasi harus melibatkan pemprop NTB. Tapi setelah itu, hantam! Artinya ‘Jempe’ yang terpilih nantinya harus berusaha mendapatkan pembagian jumlah saham yang adil antar ketiga pemda. Pembagian 60%-20%-20% misalnya, kenapa tidak?


Kita juga membutuhkan Jempe yang lebih berani. Sejatinya kita masihlah terjajah. Hak-hak penguasaan tambang seharusnya sudah dikuasai negara. Sangat sayang jika hak pembelian divestasi tersebut masih dikuasai swasta sehingga yang akan menikmatinya hanyalah segelintir orang saja. Jika Jempe yang terpilih nantinya berani, pembelian sisa divestasi yang belum rampung sampai batas maksimal 31 persen saham ada baiknya melibatkan BUMN. Memang ini kedengaran absurd karena betapa tarik menarik kepentingan itu sangat kuat terjadi. Dan saya menjamin hal ini tidak akan terjadi walau Menkeu Sri Mulyani telah meminta kepada pemprop NTB agar sisa divestasi saham tersebut dimiliki bersama dengan BUMN, bukan dengan Multicapital.


Melihat permasalahan ini secara sepintas, taking for granted, tanpa melihat maksud di balik semua kejadian adalah konyol. Terlebih lagi ini adalah masalah keuntungan ratusan milyar bahkan triliunan. Dalam penelusuran yang dilakukan Kompas misalnya, setiap proses divestasi saham kepada negara selalu dan selalu yang diuntungkan adalah kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan. Sebagai contoh, divestasi saham PT Freeport Indonesia yang jatuh ke tangan pengusaha Aburizal Bakrie dan Bob Hasan. Bakrie juga menangguk keuntungan dengan menadah saham PT Kaltim Prima Coal yang menjadikan konsorsium perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia, BUMI Resources (Kompas.com) 6), . Artinya proses-proses ini terkesan dalam skenario kepentingan pribadi. Negara hanya sebagai alat saja. Bahkan jika boleh jujur sebenarnya tidak ada negara di indonesia ini.


Di sinilah kita membutuhkan seorang Jempe. Seseorang yang mengatakan, “ Sudah, begini saja, kita desak pemerintah untuk menguasai saham Newmont, dan setelahnya mendesak agar negara membagikan divestasi saham yang fair terhadap daerah penghasil,” bukan malah menggandeng perusahan swasta. Apa-apaan ini? Untuk itu mari memilih yang terbaik untuk KSB. Memilih seorang Jempe. Seseorang yang berani, yang cerdas, dan loyal kepada masyarakat. Seseorang yang tidak takluk dan mengatakan tidak kepada segala jenis gratifikasi. Seorang yang dengan lantang menunjuk dan mengatakan, “This is ours, right or wrong, you have to act like what my civil wants to!


*penulis saat ini tinggal di Malang. Asal KSB.



sources:
  1. J. Noorduyn. Bima en Sumbawa. Diterjemahkan oleh Muslimin Jasin

  2. Ibid.

  3. I Gde Parimartha. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara (1815-1915)

  4. Kejadian Jempe ini mulai diawasi dan dicatat oleh “Belanda” sesuai dalam laporan La T Gezaghebber Bulukumba dan Bonthain I. F. scholten pada Mei 1853. Kemudian saya membuat kesimpulan bahwa perbuatan Jempe dimulai pada bulan April. Hal ini dimungkinkah oleh jarak sumbawa dan makasar yang relatif jauh. Sumber: J. Noorduyn. Bima en Sumbawa. Diterjemahkan oleh Muslimin Jasin

  5. Wahyu Sunan Kalimati, tourist guide II, Wisata arkeologis dan seni KSB

  6. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/04/07/08382967/skenario.di.balik.divestasi.newmont



Komentar

  1. jempe dh mati tinggal sekarang jompo yg ada di sumbawa barat tu bang

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar !!

Postingan populer dari blog ini

DATU SERAN KEDINGINAN

KEKURANGAN FILM LASKAR PELANGI

SATERA JONTAL