TELEVISI

Tadi pagi saya menyuruh siswa saya menulis cita-citanya, alasannya, dan misi mereka untuk menggapainya. Segulung senyum keluar dari bibir saya: dari 35 siswa__belum ada yg memilih menjadi penyanyi atau artis. Bukan berarti menjadi begitu adalah haram atau kolot: anak tetaplah anak yg terbentuk dari tumpukan-tumpukan visual dan auditori pengalamannya sehari-hari.

Sembilan dari sepuluh rumah di indonesia memiliki TV , itu yang saya tahu. Betapa Teve bukanlah sebuah barang mewah lagi di sini. Betapa kotak elektrik itu sudah sebanding jika disejajarkan dengan lemari, dipan, dah bahkan lebih berharga dari seekor kerbau.

Tentang televisi. Sungguh tidak adil. Kita tidak pernah menyalurkan hak kita untuk mengintrupsi betapa buruk tayangannya. Dengan lantangnya mereka bercerita kemudian membuat endingnya sendiri. Kita tidak pernah bisa usul. Kemudian idol-idol itu marajalela dengan hegemoni bahwa menjadi merdu adalah sexy dan prestisius.

Tetapi murid-murid saya sepetinya adalah orang yang tahu diri. Mereka menikmati sebatas user untuk sebuah tayangan sampah. Di benak mereka, mungkin, kita tidak pernah tahu, ada kudeta atas kesemena-menaan televisi. Dan mereka, sekali lagi, belum ada yang mau menjadi artis atau penyanyi.

Adalah anak-anak itu memilih menjadi astronot agar bisa menginjak bulan. Si sulung ingin menjadi guru karena ingin bermanfaat bagi manusia, katanya. Dan betapa banyak yang ingin menjadi dokter bedah.

Kemudian TV, mungkin akan selamanya tidak pernah mau urus. Sekali profit tetap profit. Mereka bersilat lidah, "ini adalah realita dalam masyarakat !" Tanpa mau menggubris bahwa tayangan hedonis yang disuguhkan berulang-ulang dengan polesan yang dibuat menarik adalah persuasi yang handal. TV ibarat khutbah jum'at. Kita tidak pernah bisa memotong pembicaraan pengkhutbah. Bedanya, tivi adalah khutbah yang dibacakan di serambi neraka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKURANGAN FILM LASKAR PELANGI

SATERA JONTAL

DATU SERAN KEDINGINAN