PERDA NO 1 TAHUN 2010 DAN DISKUSI DI FACEBOOK


"Tidakkah sakit, hati Anda, ketika Newmont, menolak Perda yg mewajibkan (memohon) kepada perusahaan tersebut untuk sudi kiranya memberikan 1,5 % saja hasil "jarahan" emasnya agar diperuntukkan bagi masyarakat KSB? Yang merasa sakit hatinya, silahkan like status saya..."


Itulah status yang sengaja saya tulis di media sosial Facebook untuk mengundang teman-teman berdiskusi menanggapi penolakan PT NNT terhadap pemberlakuan Perda Nomor 1 Tahun 2010 tentang pemberian Komisi Lingkungan Pertambangan sebesar 1,5 persen kepada pemda (masyarakat KSB).


Setidaknya ada 17 orang yang menyukai (like) status ini. Puluhan komentar tertuang, baik itu yang setuju, mendebat, apatis maupun skeptis. Komentator yang merasa sakit hatinya datang dari YS, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Dia menulis, "Ubik nuh? E Nanta dita,Kam Merdeka tapi tetap dijajah. Eh nanta jangi. Itu sudah.."


Di antara komentator-komentator itu, ada juga yang menyayangkan keadaan politik di KSB. AR misalnya, mahasiswa Universitas Mataram, dalam komentarnya dia menulis, "Saya pikir bukan masalah sakit hati. Yang perlu pembacaan kita sejauh ini sampai mana? Kita ingin merebut hak kita, namun wakil kita di lembaga pemerintah terkesan diam,"


MASYARAKAT DIRUGIKAN


Apapun pendapatnya, yang jelas masyarakat belum merasakan dampak yang signifikan dari keberadaan tambang oleh PT NNT. Masuknya KSB sebagai golongan daerah tertinggal di Indonesia sedikit menambah nyilu di hati. Padahal, KSB adalah daerah terkaya nomor 6 atas jumlah PDRB perkapitanya. PDRB perkapita adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dilakukan di daerah tersebut dibagi dengan jumlah penduduknya. Tingginya PDRB perkapita jelas karena disebabkan oleh jumlah produksi mineral yang dilakukan PT NNT. Namun tingginya PDRB perkapita bukan sebagai cermin kesejahteraan mayoritas penduduk, ini disebabkan PDRB perkapita hanya menghitung jumlah produksi total, bukan pendapatan asli penduduk atau banyaknya PAD daerah atas keberadaan produsen di daerah ini.


Masuknya KSB sebagai daerah tertinggal padahal memiliki PDRB perkapita tertinggi adalah pertanda akan adanya kesenjangan antara pendapatan masyarakat dengan pendapatan perusahaan. Konkritnya: produksi di daerah KSB tinggi, tapi masyarakat di daerah tersebut miskin. Ada apa?


PERDA NO 1 TAHUN 2010


KETIMPANGAN. Saya ulangi: K-E-T-I-M-P-A-N-G-A-N. Itulah kata yang tepat untuk mewakili keadaan ironis di Sumbawa Barat. Ketimpangan ini bisa di lihat di semua lini. Selain telah mendapat nominasi sebagai daerah tertinggal, lihatlah jalan kita, hitung berapa lubang jalan yang sungguh rawan bagi pengguna jalan, lalu bandingkan dengan jalan-jalan di pulau Lombok atau Bali yang mulus! Hitunglah berapa banyak warga ASLI KSB (bukan yang hanya ber-KTP KSB) di setiap kecamatan yang bisa bekerja di PT NNT, niscaya bisa dihitung dengan 'jari'! Bahkan busung lapar (gizi buruk) di temukan di daerah lingkar tambang sendiri.


Ketimpangan pendapatan, juga terlihat dari deviden yang didapatkan oleh perusahaan tersebut yakni sekitar USD 360 juta dolar ( 3,2 triliun Rupiah) pada pembagian semester pertama 2010 (majalahtambang.com), bandingkan dengan jumlah pendapatan dari keberadaan perusahaan bagi masayarakat KSB yang hanya berkisar 52-110 Milyar/tahun (DPPKA KSB, 2011).


Ketimpangan ini tentu tidak terlalu menjadi masalah ketika mayoritas jenis usaha di daerah kita bergelut dalam bidang jasa, ketimpangan ini akan begitu menyakitkan ketika disebabkan oleh produksi besar-besaran SDA habis pakai yang akan menyisahkan dampak lingkungan dan sosial.


Keberadaan Perda No 1 Tahun 2010 ini sedikit memberi ruang untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Pada pasal 5 ayat 1 dijelaskan: Komisi ditetapkan sebesar 1 % (satu persen) dari nilai transaksi kontrak pengadaan barang/jasa pemberian pekerjaan oleh Perusahaan Pemegang Ijin kepada Perusahaan Penyedia Barang/jasa setelah dikurangi kewajiban lainnya, dan di tetapkan sebesar 0,5 % (nol koma lima persen) atas nilai kotor setiap penjualan bahan galian oleh Perusahaan Pemegang Ijin.


Jika Perda ini berjalan, diharapkan akan menambah jumlah pendapatan Pemda yang nantinya akan mendongkrak APBD. Bagi saya, tidak ada yang salah dengan Perda ini. Redaksional dan isinya sudah sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia dan sesuai dengan sistem hierarki perundangan kita yang teratas. Adanya beberapa pihak yang memperkirakan pertentangannya dengan Peraturan Menteri, bagi saya itu tak berprinsip, pasalnya Permen hanya hieraki terbawah dari perundang-undangan kita. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila) dan pasal 33 UUD sudah memberi spirit besar atas lahirnya Perda ini.


PENOLAKAN PT NNT DAN NEOLIBERALISME


Penolakan PT NNT atas Perda tersebut tidak mengherankan. Usaha pertambangan di Indonesia adalah usaha yang berorientasi ekonomi murni walau dalam UUD sendiri mengharuskan pengelolaan kekayaan alam sebesar-besarnya bagi keuntungan/kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945). Prinsip ekonomi (perusahaan) sudah jelas: dengan modal yang sekecil-kecilnya diusahakan agar mendapat keuntungan sebesar-besarnya. PT NNT, jelas, bukanlah lembaga filantropi (dermawan) yang tugasnya membagi-bagi dana kepada daerah tertinggal (walaupun itu daerah penghasil). PT NNT, sekali lagi, adalah perusahaan. Titik.


Layaknya sebuah perusahan, tentu, segala pungutan yang bisa mengurangi profit perusahaan akan ditolak. Perusahaan akan berkilah bahwa ia telah melakukan semua kewajibannya baik itu mengenai pajak maupun responsibilitinya kepada masyarakat (CSR), walaupun segala kewajibannya belum seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang dikeruk dari daerah penghasil.


Ketika kekuasaan Soekarno yang berpaham sosialis runtuh, Indonesia menganut paham ekonomi liberal yg dipimpin langsung oleh Soeharto. Pada masa itu, segala modal asing dipersilahkan masuk ke indonesia untuk mengeruk kekayaan kita. Ini mungkin sejenis balas jasa Soeharto kepada Amerika, karena sebagian sejarawan menemukan bukti bahwa ada keterlibatan CIA dalam penyebab jatuhnya Soekarno.


Pemberian ijin penambangan PT NNT terjadi pada tahun 1986, di mana pada dasawarsa itu Indonesia lebih liberal lagi dan menganut paham ekonomi neoliberalisme. Intinya sistem ekonomi jenis ini menolak segala campur tangan pemerintah kepada perusahaan (modal). Segala regulasi (Perda, UU) yg membuat tidak maksimalnya keuntungan perusahan pun harus ditolak.


Dan benar: PT NNT menolak Perda tersebut karena beralasan bertentangan dengan KK. Dan tentu, masyarakat KSB akan gigit jari karena akan tetap pada ketimpangan ini. Saya bersyukur, di tengah negara dan pemda-pemda lain terkesan diam dan takut menentang sistem perekonomian neoliberalisme ini, muncul seorang pemimpin yang bisa berkata lantang atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi.


Bagi saya yang sedikit otoriter dan tidak mau ambil pusing ini. Seandainya saya jadi Bupati, pasti saya akan berkata kepada 'mereka': "Hey you! Kami punya emas, Anda punya dolar. Emas kami nilai tukarnya stabil dan berbanding lurus dengan waktu serta tidak akan basi, sedangkan dolar Anda fluktuatif. Hengkang saja dari sini kalau tidak mau patuh dengan regulasi kami!"



*Oleh: Wahyu Firmansyah. Diterbitkan di koran sumbawabarat post edisi 20/01/2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEKURANGAN FILM LASKAR PELANGI

SATERA JONTAL

DATU SERAN KEDINGINAN