POTRET HUKUM DI KSB [INDONESIA]

Sebenarnya saya tidak mau tulis dua kejadian ini. Tentang diskusi tempramental yang terjadi di kantor Polres dan obrolan yang menggelikan di DPPKA kemarin (16 Februari 2011). Tapi saya putuskan untuk menulis satu saja.

Di DPPKA (Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah). Ini terjadi karena untuk membuat tiket pada acara musik yang akan kami laksanakan itu, penyelenggara harus membayar pajak sebesar 15 % ke DPPKA sebagai legalitas tiket. Harga tiket masuk adalah 2.500 Rupiah.

Saya pun masuk ke ruangan kantor yang warnanya beda dari yang lain ini. Saya kemudian dihadapkan dengan seorang bapak, dan saya langsung menjelaskan alasan kedatangan saya kepada beliau. "Apa kami juga dipungut pajak sementara dana kami defisit pak? Bagaimana daerah ini bisa maju kalau begini. Kami ini bukan pengusaha pak. Kami hanya perlu hiburan. Kami bukan event organiser. Kami tidak punya NPWP. Kami ini kelompok pemuda yang ingin melakukan pentas musik. Kami ini," berasa ngomong sendiri karena teman ngobrol cengar-cengir.
"Coba tunggu BAPAK ITU! Saya tak paham." jawab beliau. Salah orang rupanya saya.

BAPAK ITU pun kemudian datang. Supaya mempermudah penyebutan nama (saya memang tidak tahu namanya), kita singkat saja nama BAPAK ITU menjadi Batu (Bapak Itu),

Batu : Ya, bagaimana? Ada apa?
Saya : Gini pak, kami dari pemuda, mau mengadakan acara musik. Dana kami minim sekali. Dan kami berencana menarik tiket. Kabarnya legalitas tiket harus disahkan di sini dan ada penarikan pajak 15% oleh Pemda atas harga tiket.
Batu : Benar sekali.
Saya : Tapi dana kami minim pak. Apa tetap harus bayar?
Batu : Pasti itu. Harus bayar !
Saya : Bisa saya lihat perdanya.
Batu : Ya sebentar !

Bapak Itu kemudian segera meminta stafnya mencetak perda tersebut dari komputernya. Saya pun kemudian membaca Perda yang diberikan Batu.

Pasal 6 Perda nomor 2 tahun 2006 itu berbunyi:
d. Tarif pajak untuk pertunjukan/pagelaran musik dan tari ditetapkan sebesar 15%.

Saya : artinya ini harus pak ya?
Batu : iya, harus. Ini perda. Ini sudah ditandatangani Kyai.
Saya : artinya, misal saya tidak mau bayar, mungkin kami nanti diangkut pake truk Pol PP gara-gara gak mampu bayar pajak.
Batu : benar!
Saya : kenapa hukum di negara kita ini sangat kaku kalau diterapkan pada masyarakat kecil, sementara kepada pengusaha besar tidak begitu? Kalau perda ini bersifat mengikat, kenapa perda No 1 Tahun 2010 tentang komisi pertambangan belum juga diterapkan, toh perda ini juga sudah ditandatangani Bupati.
Batu : itu laen urusan !
Saya : sama pak !
Batu : laen.
Saya : sama.
Batu : l-a-e-n.
Saya : sama.
BATU : LAEN !!!!!!!
Saya : baik, besok kami antar tiket dan pajaknya !

Saya keluar dari ruangan itu. Saya tidak merasa marah. Saya hanya tertawa dalam hati. Sebagai warga daerah yang berusaha baik, saya harus menaati perda yang dibuat oleh bupati dan DPRD kami yang terhormat. Saya tidak seperti perusahaan X yang enggan menaati perda daerah ini, padahal sudah mengeruk keuntungan yang banyak. Tapi saya tertawa. Saya menertawan perda hasil cipta dan karsa pemerintah daerah kami itu. Kenapa tertawa? Apanya yang lucu?

YANG LUCU

Perda nomor 2 tahun 2006 itu berisi tentang Pajak Hiburan. Segala orang yang dianggap mendapat keuntungan berupa uang dari memberi hiburan itu, layak ditarik pajak kepadanya. Tetapi apakah pembuat perda sudah mempertimbangkan konsep dalam pajak yang dikenal dengan istilah tax insidence? Konsep ini menyatakan bahwa seberapa pun besar pajak yang dibebankan kepada wajib pajak sesungguhnya pajak tersebut tidaklah banyak membebankan wajib pajak, akan tetapi konsumen-lah yang rugi. Konsumen dari hiburan tersebut dalam hal ini adalah masyarakat KSB sendiri yang rugi. Memang kelihatan yang dirugikan dalam pajak ini adalah produsen, tetapi sebenarnya tidaklah demikian.

Ada 3 kemungkinan bagi 'produsen' dalam hal ini (kami) untuk mensiasati pajak tersebut:
1. Menaikkan harga tiket
2. Mengurangi kualitas pelayanan yang akan kami berikan kepada konsumen (memperkecil biaya produksi)
3. Berhenti saja memberi hiburan, toh rugi dan capek.

Untuk point pertama, Produsen hiburan akan dengan gampang menaikkan saja harga tiketnya untuk menutupi beban pajaknya, seberapa pun besar pajaknya. Dan bukankah yang dirugikan dalam hal ini adalah konsumen (baca: masyarakat KSB) ?

Point kedua: tidak perlu ditulis. Sudah jelas.

Untuk point ketiga, jika produsen hiburan merasa kalau menaikkan harga tiket akan mengurangi jumlah konsumen (rugi), maka otomatis produsen hiburan tidak mau melakukan usaha ini, atau minggat ke daerah lain yang lebih memberi pengertian hukum.

Tetapi kami di sini, sekali lagi, bukan pengusaha. Kami hanya sekelompok pemuda yang ingin mengaktualisasikan diri lewat berkesenian. Kami sudah membayar pajaknya lunas. Dan kami tidak mau menaikkan harga tiket, mengurangi kualitas pelayanan, dan hengkang dari KSB. Karena yang kami inginkan adalah acara ini berjalan dengan baik.

Tetapi pembuat Perda hendaknya mempertimbangkan perda yang dibuatnya. Bukan pukul rata begitu. Orang akan berpikir ulang untuk membuat pentas musik bagi pelajar, mahasiswa, dan umum jika untuk menghibur orang saja, dia rugi dan capek. Pentas seni pun sepi. Orang tidak mau mengadakan acara serupa. Aktualisasi pemuda pun terhambat.

Kalau begitu, apa ini bukan suatu ironi? Mengharap pemasukan banyak agar mendapat PAD yang tinggi untuk mensejahteraan masyarakat, tetapi sebenarnya membebani masyarakat sendiri? Bahkan tanpa sadar mematikan kesenian dan pendidikan ! Ha !

Komentar

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar !!

Postingan populer dari blog ini

DATU SERAN KEDINGINAN

KEKURANGAN FILM LASKAR PELANGI

SATERA JONTAL