NIMON
Emak memasak nasi buat tamu, anaknya yg kurus2 kebagian keraknya. "Gak enak sama tamu," kata Emak kepada kami. Sudah 13 tahun tamu itu tinggal di rumah, dan Emak tetap mengatakan, "Gak enak sama tamu," Dan kami tetap, kebag
ian kerak nasi.
Pegawai puskesmas baru saja datang ke rumah mengunjungi kami. "Anak2mu terkena busung lapar. Asupan karbohidratnya terlalu rendah," kata seorang mantri kepada Emak. Para tamu yg tinggal di rumah tertawa. Menertawakan kami yang buncit tapi baik hati ini. Kami juga ikutan ketawa. Emak hanya tersenyum.
Pada suatu hari Emak bermimpi. Dia menceritakan bahwa dalam mimpinya Tuhan menaruh emas di gunung belakang rumah kami, tetapi emas itu diperuntukkan buat orang2 yg tinggal jauh ribuan kilometer dari tempat kami. Bukan buat kami, tapi buat tamu kami yang lain.
Kata Emak (masih menceritakan mimpinya), mereka tamu yang spesial. Tamu itu dari spesies manusia, tapi pemakan batu. Mendengar kabar bahwa tamu yang akan datang itu pemakan batu, kami anak2nya tak terlalu hawatir, setidaknya jatah kerak nasi kami tak berkurang.
Karena mimpi itu, Emak tak henti-hentinya memelihara gunung yang tak jauh dari rumah kami itu. Tak hanya Emak, kami yang busung lapar ini juga memelihara gunung tersebut. Saban hari kami menanam pohon baru. Membersihkan ranting dedaunan yg patah. Memohon hujan.
MENGHORMATI TAMU
Rumah kami, sebagaimana mayoritas rumah di dusunku, adalah rumah panggung. Rumah ini terbuat dari kayu dan berdinding bambu. Kayunya diambil dari gunung di belakang rumah.
Tinggal di atas rumah panggung sangat tentram. Angin dari lereng gunung bisa masuk sendiri lewat pintu belakang. Berhembuslah angin itu siang malam, dingin. Hembusan itu menjadi tambah dingin karena dinding rumah kami sebagiannya sudah rusak dan bolong. Kami tak bisa menggantinya dengan dinding baru karena kata kepala dusun, "Tidak boleh menebang pohon, untuk alasan apa pun!!" Banyak yang protes atas keputusan ini. "Pemanasan global!!" sanggah kepala dusun. Tapi orang2 tetap protes. "Sungai akan kering!!" Masih bisa disanggah karena hutan kami adalah hutan lindung yg sangat luas dan banyak menyimpan air, apalah arti tiga empat batang pohon yang ditebang untuk membuat rumah. "Es di kutub mencair!!" Jauh sekali kutub, masih didebat. "Ditangkap polisi!!" pungkas kadus. Peserta terdiam, takut.
Sebagai warga yang baik, kami patuh dengan kadus kami itu. Walaupun satu dua orang ada saja yang "mencuri" kayu. Kami tau orang-orang yang sering mencuri kayu, itu karena jalan setapak dari dan ke gunung itu hanya dapat dilewati lewat samping rumah. Keluarga kadus paling sering mencuri kayu. Juga tak ketinggalan didukung oleh "seekor" polisi.
Saat maling kayu ini lewat, Emak dan kami anak-anaknya sering sakit hati, tapi para tamu yg tinggal di rumah malah ketawa. Kami sebenarnya sakit hati melihat mereka tertawa. Tapi tiba2 Emak berbisik, "Tak baik sakit hati dengan tamu."
Saya kasih tahu ya,
Nenek moyang kami sangat menghormati tamu. Kami dibesarkan dengan tradisi menghormati tamu. No nyaman rasa (gak enak), begitulah ungkapan mereka sebagai pembenaran atas sikap mereka yang "keterlaluan" ini.
Kebiasaan menghormati tamu ini bisa dilihat dari desain interior rumah panggung suku kami. Pada bagian depan serambi rumah, "selalu" disediakan ranjang buat tamu. Tidak berbilik, tapi langsung bersampingan dengan meja kursi tamu. Itu maksudnya, sehabis duduk, para tamu bisa merebahkan badannya untuk santai di ranjang.
Ranjang ini didesain bagus, walau terkadang miris melihat ketimpangan antara ranjang (kamar) tamu dengan kamar keluarga. Tak hanya itu, jika tamu datang, habislah ternak ayam di bawah rumah. Jika tamu datang, ayam harus disembelih, korban2 bergelimpangan.
Kasih makan tamu dengan yang enak-enak, perkara gak ada uang atau apa, itu bisa dipinjam. Begitulah suku kami. Suku Samawa.
PEJANJIAN BAPAK
Jika ada yg boleh aku sesalkan dalam hidup ini. Maka, itu adalah bapakku. Karena keinginannya menjadi kepala dusun, dia mengikat perjanjian dengan orang-orang. "Menjaring masa," kata Bapak kepada Emak saat ditanyakan kenapa banyak tamu yg datang ke rumah.
Bapakku beristri banyak. Emak adalah istri pertamanya. Setelah menang dan terpilih menjadi kadus di dusun sebelah. Bapak tak pernah datang lagi ke rumah. Sialnya para tamu yang sering datang ke rumah saat masih ada bapak, tak pernah mau pulang. Mereka menginap, makan, dan terus tinggal di rumah.
"Kami mengikat perjanjian dengan Bapakmu," kata mereka kepadaku. "Sampai suatu waktu yang telah ditentukan, kami akan pulang. Tapi tamu yang lain juga akan datang untuk melanjutkan pekerjaan kami," kata mereka melanjutkan.
Pekerjaan kami? Iya. Selain makan dan tidur di rumah, para tamu ini sebenarnya punya misi diam-diam. Hanya aku dan adikku yang tahu. Hampir setiap malam mereka selalu menghilang dari rumah. Mereka berjalan ke belakang rumah, menuju hutan. Tepat ketika subuh hari mereka baru pulang dengan membawa sebongkah tanah. Tanah itu kemudian diperiksa di bawah rumah. "Cair!!" kata tamu itu sambil berbisik kepada salah satu temannya. Sementara tamu yang lain sibuk membuat peta-peta.
Selama 13 tahun, hanya itu pekerjaan mereka, memeriksa tanah. Kadang-kadang mereka juga membawa banyak peralatan. "Kita harus membuat rumah di tengah hutan sebelum mereka datang, rumah2 besi harus sudah dipersiapkan untuk mereka," bisik tamu itu kepada teman2nya. Tanpa sengaja kami mendengar bisikan itu. Kami terheran-heran. Sekilas aku teringat akan mimpi Emak yang pernah diceritakannya kepadaku dulu.
MIMPI ITU
Tuhan menaruh emas di gunung belakang rumah kami, tapi bukan buat kami. Pemiliknya tinggal ribuan kilometer dari tempat kami. "Mereka adalah spesies manusia pemakan batu," begitu kata Emak saat menceritakan mimpinya.
"Pemiliknya berdagu runcing dan sebagian lagi berperawakan tinggi besar putih," tambah Emak saat menceritakan ulang mimpinya ketika kami sama2 menanam pohon di belakang rumah.
"Lalu kita dapat apa?" tanya adikku. Sesaat kemudian Emak memandang jauh ke arah pegunungan belakang rumah. Tatapannya kosong tapi tajam. Angin saat itu berhembus sejuk. Sambil menghela nafas, Emak berkata "Seorang pemakan batu berperawakan tinggi besar datang membawa 24 butir telur emas. Butir2 telur ini milik kita karena didapat di dalam hutan. Tapi untuk mendapatkan telur itu, kita harus beli. Karena Emak tak mampu beli. Datanglah si Dagu Runcing menawarkan pakai uangnya saja. Saratnya dari 24 butir ini, 75 % buat si Dagu Runcing, dan 25 % buat kita. Bapakmu setuju. Emak tak setuju." cerita Emak.
"Kenapa Emak tak setuju?" tanya kami.
"Si Dagu Runcing akalnya bulus. Dia sebenarnya gak punya uang. Tapi untuk mendapatkan uang itu, dia menjamin telur itu kepada lintah darat untuk diganti dengan uang. Artinya Si Dagu Runcing sebenarnya gak mengeluarkan apa2, dia cuma sebagai perantara, tapi malah mengambil paling banyak dari telur2 itu. Telur2 itu nanti akan dipegang oleh lintah darat. Jika telur2 ini menetas, ayamnya akan dipakai untuk membayar hutang itu ke lintah darat. Jika kita tak mampu bayar, telur itu akan disita oleh lintah darat. Sampai suatu waktu yg sangat lama, kita baru bisa mengambil 25 % dari 24 telur jika telur itu sudah lunas. Setelah lunas si Dagu Runcing dapat 75 %, kita dapat 25 %. Bukankah itu bodoh, nak? Tapi Bapakmu setuju. Itu karena dia gelap mata." Emak menghentikan ceritanya.
"Berarti kita tak dapat apa2?" tanya kami. Emak tak menjawab. Langit saat itu terik. Matahari beranak dua. Kedua anaknya tinggal di Sumbawa.
TAFSIR MIMPI
Sekarang, untuk pertama kali, saya memberanikan diri datang menemui Bapak. Saya protes kenapa hutan2 digundulin. Gunung2 diledakkaan. Kendaraan2 berat lalu lalang di samping rumah membuat becek. Orang2 dari jauh datang bergaya2 dan numpang eek. Bongkahan2 batu dibawa lari pakai kapal2. Laut dikotori. Sungai2 mengering.
Saya juga bilang bahwa tamu yg tinggal di rumah semakin banyak. Kami sudah gak kebagian tempat tidur dan makanan. Rumah kami hampir roboh dan peyot.
Mendengar protes itu, Bapak menatapku lembut. Mukanya seperti orang mau menangis. Kepalanya tertutup sorban. Nampaknya dia baru saja selesai sholat. Sambil menggerakkan tasbih di tangannya, dia berbisik " Bapak akan mencalonkan diri jadi gubernur!"
Pegawai puskesmas baru saja datang ke rumah mengunjungi kami. "Anak2mu terkena busung lapar. Asupan karbohidratnya terlalu rendah," kata seorang mantri kepada Emak. Para tamu yg tinggal di rumah tertawa. Menertawakan kami yang buncit tapi baik hati ini. Kami juga ikutan ketawa. Emak hanya tersenyum.
Pada suatu hari Emak bermimpi. Dia menceritakan bahwa dalam mimpinya Tuhan menaruh emas di gunung belakang rumah kami, tetapi emas itu diperuntukkan buat orang2 yg tinggal jauh ribuan kilometer dari tempat kami. Bukan buat kami, tapi buat tamu kami yang lain.
Kata Emak (masih menceritakan mimpinya), mereka tamu yang spesial. Tamu itu dari spesies manusia, tapi pemakan batu. Mendengar kabar bahwa tamu yang akan datang itu pemakan batu, kami anak2nya tak terlalu hawatir, setidaknya jatah kerak nasi kami tak berkurang.
Karena mimpi itu, Emak tak henti-hentinya memelihara gunung yang tak jauh dari rumah kami itu. Tak hanya Emak, kami yang busung lapar ini juga memelihara gunung tersebut. Saban hari kami menanam pohon baru. Membersihkan ranting dedaunan yg patah. Memohon hujan.
MENGHORMATI TAMU
Rumah kami, sebagaimana mayoritas rumah di dusunku, adalah rumah panggung. Rumah ini terbuat dari kayu dan berdinding bambu. Kayunya diambil dari gunung di belakang rumah.
Tinggal di atas rumah panggung sangat tentram. Angin dari lereng gunung bisa masuk sendiri lewat pintu belakang. Berhembuslah angin itu siang malam, dingin. Hembusan itu menjadi tambah dingin karena dinding rumah kami sebagiannya sudah rusak dan bolong. Kami tak bisa menggantinya dengan dinding baru karena kata kepala dusun, "Tidak boleh menebang pohon, untuk alasan apa pun!!" Banyak yang protes atas keputusan ini. "Pemanasan global!!" sanggah kepala dusun. Tapi orang2 tetap protes. "Sungai akan kering!!" Masih bisa disanggah karena hutan kami adalah hutan lindung yg sangat luas dan banyak menyimpan air, apalah arti tiga empat batang pohon yang ditebang untuk membuat rumah. "Es di kutub mencair!!" Jauh sekali kutub, masih didebat. "Ditangkap polisi!!" pungkas kadus. Peserta terdiam, takut.
Sebagai warga yang baik, kami patuh dengan kadus kami itu. Walaupun satu dua orang ada saja yang "mencuri" kayu. Kami tau orang-orang yang sering mencuri kayu, itu karena jalan setapak dari dan ke gunung itu hanya dapat dilewati lewat samping rumah. Keluarga kadus paling sering mencuri kayu. Juga tak ketinggalan didukung oleh "seekor" polisi.
Saat maling kayu ini lewat, Emak dan kami anak-anaknya sering sakit hati, tapi para tamu yg tinggal di rumah malah ketawa. Kami sebenarnya sakit hati melihat mereka tertawa. Tapi tiba2 Emak berbisik, "Tak baik sakit hati dengan tamu."
Saya kasih tahu ya,
Nenek moyang kami sangat menghormati tamu. Kami dibesarkan dengan tradisi menghormati tamu. No nyaman rasa (gak enak), begitulah ungkapan mereka sebagai pembenaran atas sikap mereka yang "keterlaluan" ini.
Kebiasaan menghormati tamu ini bisa dilihat dari desain interior rumah panggung suku kami. Pada bagian depan serambi rumah, "selalu" disediakan ranjang buat tamu. Tidak berbilik, tapi langsung bersampingan dengan meja kursi tamu. Itu maksudnya, sehabis duduk, para tamu bisa merebahkan badannya untuk santai di ranjang.
Ranjang ini didesain bagus, walau terkadang miris melihat ketimpangan antara ranjang (kamar) tamu dengan kamar keluarga. Tak hanya itu, jika tamu datang, habislah ternak ayam di bawah rumah. Jika tamu datang, ayam harus disembelih, korban2 bergelimpangan.
Kasih makan tamu dengan yang enak-enak, perkara gak ada uang atau apa, itu bisa dipinjam. Begitulah suku kami. Suku Samawa.
PEJANJIAN BAPAK
Jika ada yg boleh aku sesalkan dalam hidup ini. Maka, itu adalah bapakku. Karena keinginannya menjadi kepala dusun, dia mengikat perjanjian dengan orang-orang. "Menjaring masa," kata Bapak kepada Emak saat ditanyakan kenapa banyak tamu yg datang ke rumah.
Bapakku beristri banyak. Emak adalah istri pertamanya. Setelah menang dan terpilih menjadi kadus di dusun sebelah. Bapak tak pernah datang lagi ke rumah. Sialnya para tamu yang sering datang ke rumah saat masih ada bapak, tak pernah mau pulang. Mereka menginap, makan, dan terus tinggal di rumah.
"Kami mengikat perjanjian dengan Bapakmu," kata mereka kepadaku. "Sampai suatu waktu yang telah ditentukan, kami akan pulang. Tapi tamu yang lain juga akan datang untuk melanjutkan pekerjaan kami," kata mereka melanjutkan.
Pekerjaan kami? Iya. Selain makan dan tidur di rumah, para tamu ini sebenarnya punya misi diam-diam. Hanya aku dan adikku yang tahu. Hampir setiap malam mereka selalu menghilang dari rumah. Mereka berjalan ke belakang rumah, menuju hutan. Tepat ketika subuh hari mereka baru pulang dengan membawa sebongkah tanah. Tanah itu kemudian diperiksa di bawah rumah. "Cair!!" kata tamu itu sambil berbisik kepada salah satu temannya. Sementara tamu yang lain sibuk membuat peta-peta.
Selama 13 tahun, hanya itu pekerjaan mereka, memeriksa tanah. Kadang-kadang mereka juga membawa banyak peralatan. "Kita harus membuat rumah di tengah hutan sebelum mereka datang, rumah2 besi harus sudah dipersiapkan untuk mereka," bisik tamu itu kepada teman2nya. Tanpa sengaja kami mendengar bisikan itu. Kami terheran-heran. Sekilas aku teringat akan mimpi Emak yang pernah diceritakannya kepadaku dulu.
MIMPI ITU
Tuhan menaruh emas di gunung belakang rumah kami, tapi bukan buat kami. Pemiliknya tinggal ribuan kilometer dari tempat kami. "Mereka adalah spesies manusia pemakan batu," begitu kata Emak saat menceritakan mimpinya.
"Pemiliknya berdagu runcing dan sebagian lagi berperawakan tinggi besar putih," tambah Emak saat menceritakan ulang mimpinya ketika kami sama2 menanam pohon di belakang rumah.
"Lalu kita dapat apa?" tanya adikku. Sesaat kemudian Emak memandang jauh ke arah pegunungan belakang rumah. Tatapannya kosong tapi tajam. Angin saat itu berhembus sejuk. Sambil menghela nafas, Emak berkata "Seorang pemakan batu berperawakan tinggi besar datang membawa 24 butir telur emas. Butir2 telur ini milik kita karena didapat di dalam hutan. Tapi untuk mendapatkan telur itu, kita harus beli. Karena Emak tak mampu beli. Datanglah si Dagu Runcing menawarkan pakai uangnya saja. Saratnya dari 24 butir ini, 75 % buat si Dagu Runcing, dan 25 % buat kita. Bapakmu setuju. Emak tak setuju." cerita Emak.
"Kenapa Emak tak setuju?" tanya kami.
"Si Dagu Runcing akalnya bulus. Dia sebenarnya gak punya uang. Tapi untuk mendapatkan uang itu, dia menjamin telur itu kepada lintah darat untuk diganti dengan uang. Artinya Si Dagu Runcing sebenarnya gak mengeluarkan apa2, dia cuma sebagai perantara, tapi malah mengambil paling banyak dari telur2 itu. Telur2 itu nanti akan dipegang oleh lintah darat. Jika telur2 ini menetas, ayamnya akan dipakai untuk membayar hutang itu ke lintah darat. Jika kita tak mampu bayar, telur itu akan disita oleh lintah darat. Sampai suatu waktu yg sangat lama, kita baru bisa mengambil 25 % dari 24 telur jika telur itu sudah lunas. Setelah lunas si Dagu Runcing dapat 75 %, kita dapat 25 %. Bukankah itu bodoh, nak? Tapi Bapakmu setuju. Itu karena dia gelap mata." Emak menghentikan ceritanya.
"Berarti kita tak dapat apa2?" tanya kami. Emak tak menjawab. Langit saat itu terik. Matahari beranak dua. Kedua anaknya tinggal di Sumbawa.
TAFSIR MIMPI
Sekarang, untuk pertama kali, saya memberanikan diri datang menemui Bapak. Saya protes kenapa hutan2 digundulin. Gunung2 diledakkaan. Kendaraan2 berat lalu lalang di samping rumah membuat becek. Orang2 dari jauh datang bergaya2 dan numpang eek. Bongkahan2 batu dibawa lari pakai kapal2. Laut dikotori. Sungai2 mengering.
Saya juga bilang bahwa tamu yg tinggal di rumah semakin banyak. Kami sudah gak kebagian tempat tidur dan makanan. Rumah kami hampir roboh dan peyot.
Mendengar protes itu, Bapak menatapku lembut. Mukanya seperti orang mau menangis. Kepalanya tertutup sorban. Nampaknya dia baru saja selesai sholat. Sambil menggerakkan tasbih di tangannya, dia berbisik " Bapak akan mencalonkan diri jadi gubernur!"
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar !!