MENILIK MODEL PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BUDAYA SUMBAWA
Sering sekali kita mereduksi bahwa pendidikan karakter
adalah hak dan kewajiban sekolah. Saat ada anak yang berlaku kurang baik, kita
kadang spontan berucap, “Kayak orang yang tidak sekolah.” Sekolah masih
dianggap sebagai institusi pembangun karakter utama. Padahal kalau dihitung,
intensitas “pendidikan” di sekolah tidaklah sebanyak “pendidikan” di rumah dan
di masyarakat. Pembelajaran di sekolah juga masih dilaksanakan satu arah
(guru-murid) sehingga nyaris kering dengan interaksi sosial. Belum lagi
pendidikan sekolah, kalau mau jujur, lebih banyak membangun aspek kognitif
daripada afektif dan psikomotorik siswa.
Melihat kenyataan yang ada secara kontekstual, pendidikan di
rumah dan masyarakatlah yang menurut penulis paling banyak mempengaruhi
pembangunan karakter siswa, apalagi dalam ruang dan waktu di Sumbawa Barat saat
ini. Di rumah, anak-anak langsung diajarkan pendidikan karakter oleh orang
tuanya baik secara sadar maupun tidak melalui pemodelan (behavioris). Anak-anak
mencontohkan langsung karakter orang tuanya. Begitupun di lingkungan
masyarakat, anak-anak belajar tentang karakter dengan berbaur bersama
teman-temannya.
Tentang karakter, Koesoema (2007), menjelaskan bahwa
karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia
menghayati kebebasannya dan menghayati keterbatasan dirinya. Pendidikan
karakter, menurutnya, adalah keseluruhan dinamika relasional antarpribadi
dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya.
Karakter sendiri secara etimologis berasal dari bahasa
Yunani yaitu karasso yang berarti cetak biru, format dasar, atau sidik. Ryan
(dalam Latif, 2007), menerangkan bahwa moral (karakter red.) itu ditangkap
(caught), bukan diajarkan (taught). Dari sini dapat diketahui bahwa pendidikan
karakter juga banyak ditentukan oleh pemodelan dari luar individu. Oleh karena
itu, pendidikan karakter, akan lebih bermakna jika dilakukan dalam praksis
hubungan sosial langsung, bukan hanya diajarkan di dalam kelas tapi juga di
dalam masyarakat.
Atas pertimbangan tersebut, menarik bagi penulis untuk
meneliti dan menulis bagaimana kebudayaan Sumbawa, sebagai sebuah hasil
interaksi sosial bertahun-tahun, dalam menanamkan pendidikan karakter bagi
masyarakatnya dalam sebuah laporan karya ilmiah.
Karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan deskriptif, ditulis dengan teknik penulisan karya ilmiah
populer. Sumber dan bahan penelitian dilakukan dengan cara studi literatur dan
wawancara dengan tokoh adat di Kecamatan Seteluk Kabupaten Sumbawa Barat.
Keabsahan data dilakukan dengan cara cross-check antar data.
a. Masyarakat Suku Samawa
Sebagai sebuah suku yang memiliki bahasa dan budaya
tersendiri, suku Samawa yang merupakan suku mayoritas di Sumbawa Barat memiliki
corak kebudayaan yang unik. Dialektika budaya pada masyarakatnya boleh
dikatakan sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Hal ini terbukti dari
hadirnya aksara satera jontal sebagai alat komunikasi dalam tulisan. Satera
jontal merupakan simbol-simbol berupa huruf yang ditulis pada daun lontar
(jontal) yang kemudian menjadi penguat hadirnya ragam budaya sastra.
Pada kebudayaan Sumbawa, hampir di semua interaksi sosial
selalu diisi dengan kegiatan berkesenian. Acara perkawinan, acara bermain,
acara silaturrahmi, acara agama (sunatan), saat orang tua menasehati anaknya,
saat akan tidur, dan lain-lain hampir selalu bernilai seni. Uniknya lagi,
kesenian-kesenian tersebut sarat dengan nilai pendidikan karakter.
b. Nilai Pendidikan Karakter dalam Seni Sastra Sumbawa
Dari pengamatan penulis, nilai-nilai karakter yang
ditanamkan oleh orang tua pada masyarakat Sumbawa jarang diungkapkan langsung
untuk mendapatkan tujuan tertentu. Kebanyakan nilai-nilai karakter yang ingin
ditanamkan terselip secara implisit pada ungkapan-ungkapan verbal ataupun
tulisan yang akan diungkapkan.
Muhammad Yusuf (55 tahun), salah seorang tokoh adat dari
Desa Seteluk Atas Kecamatan Seteluk, dalam sebuah wawancara dengan penulis,
mengungkapkan bahwa kebanyakan nilai-nilai karakter yang ditanamkan oleh orang
tua pada masyarakat Sumbawa dilakukan melalui media sastra di antaranya lewat
lawas, ama, panan, pasatotang tau loka, dan tuter. Nilai-nilai karakter
tersebut, menurut Muhammad Yusuf disajikan secara tak langsung agar subyek
penerima nilai-nilai tersebut tidak merasa tersinggung.
Berikut penjelasan cara-cara penyampain nilai karakter dalam
budaya Sumbawa:
1. Melalui Ama
Ama adalah pribahasa dalam bahasa Sumbawa. Ama terdiri dari
kata kiasan yang sangat kaya akan makna, dapat berisi petuah, nasehat dan
pelajaran bagi yang mendengarnya (Iskandar, 2001).
Contoh:
− Pariri lema bariri (atur, biar teratur)
Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa agar sesuatu
barang, benda yang berantakan, tidak teratur dan tidak rapi, supaya menjadi
teratur dan rapi sehingga dapat berguna dan bermanfaat bagi kepentingan semua
orang. (Hamim, 2009)
− Nonda tau layar bangka dengan (tidak ada orang yang akan
melayarkan perahu temannya)
Arti ungkapan ini adalah bahwa tidak ada orang yang akan
menanggung hasil perbuatan orang lain.
2. Melalui Lawas
Lawas adalah seni sastra yang memiliki pola seperti puisi.
Terdiri dari 3, 4, 6, atau 8 baris, dan tiap-tiap baris terdiri dari 8 suku
kata. Lawas biasanya berisi nasehat dan puji-pujian.
Contoh lawas:
Peno mo tempa tu gita Sudah banyak kita lihat
To’ tu bonga, nawar turen Sekarang di atas, besok di bawah
Ka tiu dadi mo ereng Dulu kolam sekarang dangkal
Ada si tempa ka nyata Ada contoh yang nyata
Galumang dadi galumpang Pohon kecil tumbuh jadi besar
Konang nyungkar si kabali Namun roboh juga akhirnya
(Hamim, 2011)
3. Melalui Pasatotang Tau Loka
Pasatotang tau loka adalah nasehat yang diberikan oleh orang
tua kepada yang muda dalam bentuk larangan. Isi larangan biasanya jauh dari
maksud yang terkandung di dalamnya.
Contoh:
− Na Bakati Asu (jangan bermain-main layaknya anjing)
Maksudnya, jangan terlalu asik bermain-main atau saling
mencela. Anjing yang melakukan hal tersebut biasanya berujung perkelahian.
− Na Ngejit Lamin Petang (jangan menjahit kalau malam)
Maksudnya, menjahit saat malam dapat menyebabkan tangan
tertusuk jarum.
4. Melalui Panan
Panan merupakan suatu pertanyaan yang mengandung unsur
teka-teki, disampaikan kepada orang lain untuk dicari jawabannya. Biasanya yang
akan melempar teka-teki, terlebih dulu berucap, “Buya panan kaku!” yang
artinya, ayo cari teka-teki saya!
Contoh:
Penanya: “Buya panan kaku, tok tak nde mayung !”(cari panan
saya: tok tak Si Menjangan)
Penjawab: “Jontal satetak pina payung” (sepotong daun lontar
dibuat payung)
Pesan yang tersimpan adalah walaupun hanya sepotong daun
lontar, tapi memiliki manfaat untuk berteduh.
5. Melalui Tuter
Tuter merupakan cerita rakyat yang disampaikan secara lisan.
Isi tuter nyaris selalu memiliki pesan-pesan moral kepada pendengarnya. Tuter
sering disampaikan oleh orang tua (bapak/ibu/nenek) kepada anaknya saat akan
mulai tidur.
Contoh tuter antara lain Ne Bote ke Ne Kakura (Si monyet dan
Kura-Kura), memiliki pesan moral tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan
kejujuran. Ada juga tuter Batu Nganga yang memiliki pesan moral tentang
berbakti dan patuh kepada perintah orang tua.
c. Mengemas Nilai-Nilai Karakter dengan Hiburan
Seperti Wali Songo yang menyebarkan Islam dengan kesenian
wayang, masyarakat Sumbawa juga mengemas nilai-nilai karakter yang ingin
diajarkan dengan hiburan. Nilai-nilai karakter yang sebelumnya sudah dikemas
dalam seni sastra (Lawas, Ama, Pasatotang Tau Loka, Tuter, Panan), berikutnya
untuk lebih mudah dipahami dan dicerna, maka disajikan dalam bentuk kesenian
lain yang berbeda tapi lebih menghibur.
Menurut Hamim (2011), pada praksisnya seni sastra Sumbawa
disajikan dalam bentuk kesenian di antaranya badede, sakeco, saketa, gandang,
dan basual.
1. Badede
Badede adalah menembangkan lawas kepada anak menjelang
tidur, saat sedang khitanan, ataupun pada saat upacara perkawinan. Lawas yang
dilantunkan biasanya bertemakan permohonan kepada Allah agar anak yang diasuh
panjang umur, berguna bagi orang tua, dan bermanfaat bagi sesama.
2. Sakeco
Sakeco merupakan pertunjukan musik yang diiringi oleh dua
jenis rebana dengan lirik yang dibacakan oleh beberapa orang berupa tuter atau
lawas. Tuter dan lawas yang disampaikan berupa lawas orang tua, agama (pamuji),
juga sejarah. Dalam satu pertunjukan sakeco, pemain dapat mempertunjukkan
berbagai jenis lawas atau tuter.
3. Saketa
Saketa adalah lawas yang dikumandangkan oleh seorang atau
sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat
mengadakan permainan rakyat, bergotong royong, ataupun membangun rumah. Saat
seseorang selesai mengumandangkan lawas, sekelompok orang yang lainnya serempak
mengucapkan: ho….ham…..ho….ham….ho ham. (Hamim,2011)
4. Gandang
Gandang adalah sekelompok orang yang melantunkan lawas
dengan diiringi suling atau pukulan alu. Jika diiringi dengan suling, dinamakan
gandang suling, sedangkan jika diiringi alu, dinamakan gandang nuja.
5. Basual
Basual artinya menyampaikan soal (sual). Dalam basual,
seseorang akan mengajukan soal yakni dengan mengajukan sampiran dari sebuah
lawas, dan bagi yang hadir pada kesempatan tersebut serta mengetahui jawabannya
maka akan segera menjawabnya. Acara basual dapat dijumpai sebagai sambilan di
saat orang-orang sedang panen padi di sawah ataupun saat acara pengantin usai.
d. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan penulis, baik melalui studi literatur,
pengamatan langsung, berbaur dengan masyarakatnya, dan mewawancarai tokoh
setempat, dapatlah penulis simpulkan bahwa:
1. Suku Samawa, sebagai suku mayoritas di Sumbawa Barat
memiliki banyak ragam budaya kesenian.
2. Dalam memberikan pendidikan karakter bagi masyarakatnya,
suku Samawa memanfaatkan kesenian agar orang lain tertarik mendengarkan ataupun
mempelajarinya.
3. Nilai-nilai karakter yang akan ditanamkan bersifat
implisit dalam teks/ungkapan perumpamaan, ini dimaksudkan agar subyek penerima
karakter tersebut dapat memahami maksud dan tujuan dari nilai-nilai yang akan
diberikan serta tidak merasa tersinggung.
e. Saran
Sebagai seorang guru yang juga memiliki kewajiban memberi
pendidikan karakter bagi muridnya, penulis dalam ini memberi saran-saran
sebagai berikut:
1. Pendidikan karakter hendaknya diberikan secara
menyenangkan agar anak lebih tertarik dalam mempelajari nilai-nilai karakter
tersebut.
2. Memberi pendidikan karakter pun harus dengan hikmah,
artinya subyek yang akan diberi memahami dan ikut memikirkan maksud dan tujuan
dari nilai-nilai karakter yang akan diterima.
3. Budaya-budaya tersebut, seperti yang penulis paparkan
pada penelitian ini, sudah mulai luntur dalam masyarakat. Diharapkan agar para
stakeholder terkait baik di pemerintahan, sekolah, perusahaan, dan masyarakat
memikirkan cara agar budaya-budaya positif ini tetap terpelihara.
DAFTAR PUSTAKA
Hamim, Muchsin. H. 2009. Ama Samawa (Pepatah Sumbawa).
Mataram: diterbitkan pribadi oleh penulisnya.
Hamim, Muchsin H. 2011. “Lawas Samawa” Dulu dan Kini.
Mataram: diterbitkan pribadi oleh penulisnya.
Iskandar, dkk. 2001. Seni Budaya Daerah Sumbawa. Diterbitkan
oleh Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sumbawa.
Koesoema, Doni. 2007. “Tiga Matra Pendidikan Karakter” dalam
majalah Basis edisi Juli – Agustus 2007.
Latief, Yudi. 2007. “Hancur Karakter, Hancur Bangsa” dalam
majalah Basis edisi Juli – Agustus 2007. (
https://www.facebook.com/wahyu.firmansyah?fref=ts )
Mohon maaf sebelumnya buku referensi karya H.muchsin hamim itu ada ndak dijual?
BalasHapus