SUMBAWA BARAT DAN BISUNYA SEKOLAH/UNIVERSITAS


"Nenek menginginkanku mendapatkan pendidikan, oleh karena itu ia melarangku sekolah (kuliah)" (Margaret Mead)

Ungkapan Margaret di atas mungkin ada benarnya juga. Saya sebagai seorang pendidik lumayan malu juga ketika sekolah dan universitas tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat. Sekolah dan kampus yang seharusnya menjadi pemberi solusi terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat dan lingkungannya, justru diam membisu, bahkan tak jarang sekolah dan kampus menjadi sumber masalah.

Lihatlah, tembok-tembok sekolah dan universitas dibangun tinggi-tinggi. Sekolah dan kampus tersekat dengan lingkungannya. Tembok-tembok itu seperti pembuat batas antara sekolah dan masyarakat. Padahal, sekolah terbaik ada dalam masyarakat, dan guru terbaik adalah alam. Di dalam kelasnya, pelajar dan mahasiswa khusuk belajar seolah-olah dunia ini bisa dipelajari hanya dengan tinggal di dalam kelas.

Di Sumbawa Barat ini, kita jarang sekali, atau mungkin tak pernah mendapatkan sekumpulan pelajar atau mahasiswa IPA (Sains) yang turun ke sungai, meneliti banjir, melihat perusakan lingkungan oleh kegiatan-kegiatan pertambangan, kemudian bersama guru dan dosennya membahas dalam kelas untuk dicarikan solusi dan tindakan. Di Sumbawa Barat ini, kita tidak pernah melihat anak-anak jurusan (IPS) atau Ekonomi yang melakukan diskusi dan menemukan solusi tentang, misalnya, seberapa besarkah keuntungan Pemerintah KSB setelah melakukan kerjasama dengan Bakrie dalam proses divestasi saham. Seberapa besarkah keuntungan masyarakat terhadap keberadaan tambang selama ini. Juga tidak pernah kita dengar diskusi dan solusi dari anak-anak jurusan sejarah beserta guru dan dosennya tentang, misalnya, kenapa Bung Karno ingin menyeterika Amerika.

Bertolak belakang dengan itu, di Sumbawa Barat ini marak sekali kita lihat pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen yang antusias sekali kalau ikut lomba gerak jalan santai, lomba volley ria, lomba karaoke memperingati HUT PGRI, lomba upacara, dan lomba-lomba yang orientasinya untuk mengejar piala. Semua itu tidak salah. Tapi ada yang lebih penting yang harus diperhatikan oleh institusi sekolah dan universitas, yaitu keterlibatannya dalam memberi solusi terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat.

Beberapa minggu yang lalu ada mahasiswa yang mengadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung saya. Melalui tulisan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih atas inisiasinya dalam acara lomba makan krupuk dan lari karung yang melibatkan masyarakat sekitar. Sungguh sebuah Kuliah Kerja Nyata yang sangat nyata manfaatnya dalam menyenangkan, sekaligus mengenyangkan masyarakat.

KEBERANIAN

Mengutip Acep Iwan Saidi, seorang budayawan sekaligus Guru Besar di Institut Teknologi Bandung. Dia menulis dalam twitter-nya
:
Jalan buntu di dunia politik (ekonomi, social, lingkungan) sebenarnya juga identik dengan deadlock di dunia akademis. Kampus (sekolah), hanya tiarap! Dalam kekacauan di segala lini seperti sekarang, para akademisi mesti "keluar kampus" dan ikut bertanggung jawab! Jangan bersembunyi di balik kata "netral".

Sudah saatnya sekolah dan universitas lebih peduli dengan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Mengkontekstualkan kurikulum dengan permasalahan yang ada di dalam masyarakat adalah bentuk kreativitas guru atau dosen.

Bulan lalu murid saya melakukan obeservasi ke jaringan irigasi, sungai, pasar, dan peternakan di Seteluk. Mereka saya tugaskan memfoto keadaannya, membuat laporannya, dan memajangnya di kelas. Itulah yang kami bisa lakukan sebatas ilmu dan jenjang pendidikan yang kami punya yaitu sekolah dasar (SD). Tentunya observasi dan laporan mereka sangat sederhana. “Keadaan sungai di Seteluk sangat kotor,” tulis mereka dalam laporannya.

Tapi saya terkaget-kaget ketika melihat materi Fisika anak SMA yaitu menghitung kapan jatuhnya batu jika dijatuhkan di permukaan bulan yang memiliki gravitasi sebesar X. Kenapa kita harus repot-repot menghitung kapan batu jatuh di bulan sementara kita tak pernah mau repot-repot memikirkan betapa batu-batu gunung terus diledakkan? Kenapa sekolah dan pelajarannya begitu terlepas dan jauh dari permasalahan masyarakat dan lingkungannnya? Kenapa tidak menghitung, misalnya, seberapa parah “sebuah batu yang dilemparkan kepada seorang pejabat atau pimpinan perusahaan” yang melakukan diskriminasi dan perusakan lingkungan jika dilempar dengan gaya Y? Berapa gaya geseknya, dll.

Melihat model pendidikan yang ada saat ini, dari situ kita bisa lihat betapa semakin jauhnya konten pelajaran sekolah/universitas dengan masyarakat yang ada di sekitarnya seiring dengan jenjang pendidikannya. Jika jenjang SD di Sumbawa Barat diajarkan tentang mengobeservasi sungai di bumi, jenjang SMA disuruh hitung kapan jatuhnya batu di bulan, mungkin di jenjang universitasnya punya tugas lain, jangan-jangan mereka punya penelitian di akhirat?



*diterbitkan di sumbawanews

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DATU SERAN KEDINGINAN

KEKURANGAN FILM LASKAR PELANGI

SATERA JONTAL