SUMBAWA BARAT DAN DEMAM CILOKAK
Ketika tulisan ini saya buat, saya baru saja selesai melihat pentas “cilokak” tepat di belakang rumah saya. Acara ini terlaksana karena adanya hajatan pernikahan di kampung kami. Aduhai ramainya! Puluhan bahkan ratusan anak-anak dari TK/SD/SMP asik bersila menonton bahkan ada yang ikut "bergabung" dalam acara yang diperagakan tepat di bahu jalan ini. Acara beginian boleh dikatakan sudah sering dilaksanakan.
Untuk diketahui, “cilokak” merupakan kesenian berupa
permainan musik dan tarian oleh beberapa muda-mudi yang dipertontonkan kepada
khalayak ramai. Di beberapa tempat kesenian ini dinamakan “kecimol”. Saya
kurang tahu apakah kesenian ini sudah termodifikasi atau belum. Di Seteluk,
laki-laki yang memiliki uang berhak masuk untuk berjoget. Kemudian beberapa
perempuan menyambut para lelaki ini sambil “merebut” uang dari tangannya
sebagai “pemberian”. Sambil berjoget, para penari ini terkadang “nakal” menyentuh
(maaf) pantat si perempuan. Tak mau kalah, penari perempuan mengoyang-goyangkan
pinggulnya menyambut ajakan penari lelaki sambil mengincar uang di tangannya.
Terjadilah balas-membalas joget. Asyik mungkin. Tapi para anak kecil menganga
sambil bersila, menonton, paling depan!
KEGELISAHAN SEORANG PENDIDIK
Sekilas memang tak ada yang salah dengan segala jenis
kesenian. Seni musik dan seni tari (joget) sudah biasa dipentaskan di tempat
publik. Tapi apakah “cilokak” yang dipentaskan di Seteluk (atau mungkin di
tempat lain di KSB) pada beberapa tahun ini sudah masuk dalam kategori pantas?
Di sekolah, kami mengajarkan tentang ilmu pengetahuan
(knowledge), skill (keterampilan) dan attitude (sikap) kepada para siswa. Untuk
jenjang anak SD, kurikulum 2013 saat ini lebih mengutamakan attitude (sikap)
daripada ilmu pengetahuan dan keterampilan. Keputusan pemerintah untuk
menekankan pengajaran sikap ini sangatlah tepat mengingat anak-anak pada fase
sekolah sangat mudah ditanamkan berbagai perilaku positif maupun negatif
kepadanya (teori behaviorism). Anak-anak pada fase ini mudah sekali meniru
kemudian merekam segala sesuatu yang ada di luar dirinya (stimulus-respons).
Di sekolah, anak-anak diajarkan bagaimana menutup dan
menjaga auratnya oleh guru agamanya. Di sekolah juga diajarkan bagaimana cara
memproduksi barang dan bagaimana mendapatkan laba dari sebuah kegiatan
produksi. Akan menjadi sangat naif ketika anak-anak yang sudah kami ajarkan
menutup aurat dan menjaga kemaluannya tapi pada tingkatan pendidikan luar
sekolah dibiarkan tanpa filter. Begitu juga dengan usaha memproduksi barang.
Kami juga mengajarkan kepada anak-anak bagaimana susahnya Si Ndeng membuat
serabi dengan biaya X, untuk mendapat laba sebanyak Y, maka dia harus
menjualnya dengan harga X + Y. Pelajaran-pelajaran tersebut menjadi “percuma”
jika anak-anak dipertontonkan secara bebas bagaimana dengan hanya berjoget
sebentar maka akan mendapatkan segopok uang.
Pembiaran-pembiaran ini membuat sekolah ekstra keras untuk
mendidik siswa. Sialnya lagi, jika ada masalah yang melibatkan kenakalan anak,
maka sekolahlah yang pertama disalahkan. Padahal kalau mau “prekengan”,
pendidikan di sekolah berlangsung hanya 6 jam, sementara 18 jam sisanya dalam
sehari anak-anak mendapatkan pendidikan langsung dari rumah dan lingkungan
sekitarnya.
TIDAK ADA YANG SALAH DENGAN “CILOKAK ATAU KECIMOL”
Saya menyukai musik “cilokak/kecimol”. Gesekan biola dipadu
dengan suara gambus dan suling sangat syahdu terdengar sampai ke relung
sanubari. Mendengar “cilokak” seperti mendengar alunan Sting dalam lagunya yang
berjudul Desert Rose. Yang kurang tepat menurut kacamata pribadi penulis adalah
pada kemasannya yang perlu dipertimbangkan kepantasannya jika diperuntukkan
bebas untuk publik dan anak di bawah umur.
Kabupaten Sumbawa Barat pernah tergolong kabupaten terkaya
keenam di Indonesia, ditambah lagi dengan jumlah penduduknya yang relatif
sedikit menyebabkan derasnya migrasi dari luar sehingga terciptalah akulturasi
budaya. Akulturasi budaya merupakan hal yang wajar terjadi. Ini tidak bisa
dibendung. “Masuknya” “cilokak” ke KSB tentu akan menambah khasanah keragaman
budaya Sumbawa Barat. Tugas kita adalah bagaimana menyaring hal yang kita
anggap kurang patut kemudian diperbaiki.
MENJAGA BUDAYA POSITIF SAMAWA
Melihat “jarangnya” masyarakat yang memakai Sakeco dan Ratub
pada acara pernikahan/sunatan di Seteluk, seorang teman memberi guyonan kepada
penulis agar personil ratub dan sakeco untuk dipakaikan lejing kemudian
berjoget-joget agar menarik minat penonton. Saya ketawa terbahak-bahak.
Bagaimana pula membayangkan para pemain sakeco dan ratub yang umumnya adalah
“kakek-kakek” tapi menggunakan lejing? Ini kritik bagi pendidikan kesenian di
KSB! Sangat susah sekali menemukan anak muda yang punya kemampuan dan hobi
untuk mempelajari kesenian daerahnya sendiri yang hampir punah tergerus zaman.
Bagi penulis, banyak cara untuk mengapresiasi budaya kita.
Memasukkan konten kesenian daerah pada kurikulum merupakan tindakan bijak.
Tentu saja kesenian yang diajarkan adalah kesenian terapan, bukan kesenian
hapal buta dalam teks buku. Beberapa hari yang lalu juga kami baru saja
mengadakan acara kebudayaan “Sumbawa Tempo Doeloe”. Betapa susahnya mencari
sponsor untuk acara seperti ini entah dari Pemda maupun perusahaan.
Menjaga kebiasaan
positif adalah tanggung jawab kita bersama. Kepolisian punya tugas untuk
mempertimbangkan pemberian ijin keramaian untuk acara yang punya konten
“dewasa” yang melibatkan anak-anak di bawah umur. Kepada pemerintah daerah
diharapkan jangan hanya fokus dengan barapan, kebo. Begitu juga dengan
pemerintah kecamatan, kelurahan, dan desa. Pemerintah dan kepolisian punya
kuasa untuk "menertibkan adat" dengan aparatur dan peraturan tertulis
yang dipegangnya. Kepada pemangku adat, mari bersama-sama mewariskan adat
samawa yang positif. Kepada para orang tua, mari jaga anak-anak kita, mereka
adalah peniru yang ulung. Kepada para guru: siap-siap kuatkan ikat pinggang!
*diterbitkan di Sumbwanews dan Sumbawa Barat Post
*diterbitkan di Sumbwanews dan Sumbawa Barat Post
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar !!