“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” (Soekarno) Gbr.juru kunci makam di dalam makam seran "Bahkan kadang saya menggunakan uang saya peribadi untuk memperbaiki pagar-pagar ini," ungkap juru kunci makam Seran, kepada kami di sebuah beruga di bawah pohon beringin di dalam makam. Itu karena Anas Pataray mengajak saya berkunjung ke Makam Seran untuk liputan jurnalistik. Kami pergi karena sudah berjanji beberapa hari sebelumnya. Setelah mampir ke rumah juru kunci makam untuk memintanya sebagai pemandu, kami kemudian menyisir pematang sawah. Untuk bisa sampai ke makam, kita harus ‘ sehat lahir batin ’ . Ini bukan mejik atau klenik ya! Ini beneran : u ntuk sampai ke sana kita harus sudi berjalan di bawah belukar bambu dan pematang sawah yang jaraknya sekitar dua kilometer dari perumahan penduduk. Di musim hujan begini, saya sarankan jangan membawa celana panjang : beceknya selutut. Mengharapkan pengunjung bisa memarkir kendaraan dua roda atau empat roda di...
Konon, saat manusia belum mengenal tulisan (saman pra sejarah), manusia saling berhubungan atau berkomunikasi sesamanya hanya dengan kata-kata, namun seiring dengan berjalannya waktu, komunikasi antar manusia pun berubah menjadi beragam cara termasuk lahirnya berbagai simbol atau tulisan (saman sejarah). Merasa 'gengsi' dengan beragamnya kebudayaan yang eksis di dunia, maka Sumbawa pun melahirkan sebuah karya budaya dalam bentuk sastra tulisan yang dinamakan satera jontal. Satera jontal bukan sebuah sastra dari tulisan, melainkan bagaimana simbol tulisan itu sendiri disepakati dan dijadikan alat untuk berkomunikasi dalam bentuk tulisan.. Satera Jontal merupakan kebudayaan kuno etnis Samawa (sumbawa) yang diwujudkan dalam bentuk lambang, kemudian tiap-tiap lambang tersebut terdapat makna tersendiri. Dinamakan satera jontal, karena tulisan ini banyak ditulis di atas jontal (daun lontar). Dan Satera merupakan sastera dalam bahasa Indonesiany...
J ika bapak-bapak dan ibu-ibu berjalan ke universitas negeri malang, bapak-bapak dan ibu-ibu akan diajak terkesima dan malu atas kalahnya intelektualitas dengan yang namanya uang. Entah berapa jumlah uang yang diterima oleh pihak universitas dari biaya iklan ini. Di taman, di perpustakaan, di papan pengumuman, di pintu gerbang, nampang iklan rokok yang mengiris hati. Ironisnya, jumlah tulisan Universitas dengan jumlah tulisan rokok hampir sama banyaknya pada billboard yang ada. Setiap ada tulisan yang bertuliskan Universitas Negeri Malang, hampir pasti ada lambang rokok ’jahannam’ itu disampingnya. Ajakan-ajakan untuk memelihara kesehatan tampaknya percuma ketika sebuah institusi tempat dimana kebijaksanaan itu diambil seolah-olah cuek dengan bahaya dari yang dimaksud. Hal ini sama saja dengan membunuh pendidikan itu sendiri. Bukankah pendidikan adalah sesuatu yang tidak berpihak dan independen. Jika pendidikan berpihak pada uang, untuk apa lagi kita bersusah-susah melakukan penelitian...
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar !!